ANALISIS STRUKTURAL DAN PRAGMATIK CERPEN
SEPOTONG KAKI KARYA OKA RUSMINI
Disususn Oleh :
NI PUTU YULI ASTARI
XI.IS.2
( 41 )
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA OLAHRAGA KEBUDAYAAN
DAN PARIWISATA
KABUPATEN JEMBRANA
SMA NEGERI 1 NEGARA
Tahun
Ajaran 2008 / 2009

MOTTO PENULIS
Mencerdaskan
Generasi Muda Dengan
Penguasaan
Humaniora Dalam
Upaya
Peningkatan
Sosial
Elevator
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA
OLAHRAGA KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
SMA NEGERI 1
NEGARA
Jl. Ngurah Rai No.155 Negara Telp. ( 0365 ) 43309
LEMBAR PENGESAHAN
KARYA TULIS DENGAN JUDUL :
ANALISIS STRUKTURAL DAN PRAGMATIK CERPEN SEPOTONG KAKI KARYA OKA RUSMINI
Disusun Oleh :
NI PUTU YULI
ASTARI
X.I. I.S. 2
( 41 )
DIAJUKAN UNTUK
MEMENUHI TUGAS BAHASA INDONESIA
Jembrana, 23 Mei 2009
Mengetahui,
Kepala SMAN 1 Negara Guru
Pembimbing,
SMAN
1 Negara
Drs. I Wayan Astawa, M.Pd.` I
Wayan Sudirtha, S.Pd.
NIP. 131 120
419 NIP.
132 127 980
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
ke hadirat Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang
telah dianugerahkan kepada penulis, sehingga penyusunan karya tulis ini dapat
diselesaikan. Karya tulis penelitian ini berjudul: Analisis Struktural dan
Fragmatik Cerpen Sepotong Kaki Karya Oka Rusmini.
Karya tulis penelitian ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas Bahasa Indonesia tahun ajaran 2008 / 2009.
Sehubungan dengan hal itu, melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaiannya.
Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa karya tulis penelitian ini masih banyak kelemahan-kelemahannya. Hal ini
disebabkan oleh pengetahuan, pengalaman, wawasan, dan kemampuan penulis yang
masih sangat terbatas. Untuk itu, segala kritik dan saran dari semua pihak sangat
penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Akhir kata, semoga karya tulis
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Negara,
23 Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL............................................................................................
...i
HALAMAN
MOTTO..............................................................................................ii
LEMBAR
PENGESAHAN....................................................................................iii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
ABSTRAKSI.........................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................1
1.2 Ruang Lingkup Masalah..............................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................................6
BAB II TELAAH PUSTAKA.................................................................................7
2.1 Tinjauan
Teoritis..........................................................................................7
2.1.1
Pengertian Analitis..............................................................................7
2.1.2
Pengertian Struktural..........................................................................7
2.3.1
Pengertian Pragmatik..........................................................................7
2.2 Landasan Teori..........................................................................................
..7
BAB III METODE DAN SUMBER DATA PENELITIAN.................................13
3.1 Metode Penelitian....................................................................................
..13
3.2 Sumber Data Penelitian............................................................................
.14
BAB IV ANALISIS SRUKTURAL DAN PRAGMATIK
CERPEN...................15
4.1 Analisis Struktural dan Pragmatik Unsur Intrinsik
Cerpen Sepotong
Kaki Karya Oka Rusmini..............................................15
4.2
Analisis Struktural dan Pragmatik Unsur Ekstrinsik
Cerpen
Sepotong Kaki Karya Oka
Rusmini...............................................29
BAB V
PENUTUP.................................................................................................37
6.1
Kesimpulan................................................................................................37
6.2
Saran...........................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39
LAMPIRAN
1
LAMPIRAN 2
AUTO
BIOGRAFI PENULIS
ABSTRAKSI
Sistem pendidikan di Indonesia adalah sistem
pendidikan yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu, pendidikan
di Indonesia harus dikembangkan, termasuk juga salah satu di dalamnya
pendidikan humaniora yakni melalui pengajaran sastra khususnya apresiasi
sastra. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya, bahwa bagi
kebanyakan orang, sastra merupakan suatu yang masih asing dan berat. Untuk
memahami suatu cipta sastra, seorang harus mempunyai pengetahuan, pengalaman,
dan wawasan yang luas.
Di tengah-tengah masyarakat sastra Indonesia sekarang
ini, metode pendekatan yang dianggap paling tepat untuk menilai cipta sastra,
masih merupakan persoalan yang menimbulkan perselisihan pendapat. Pada dasarnya
metode apa pun yang digunakan dalam menggauli hasil cipta sastra, seharusnya
berakhir dengan penilaian dan penilaian pun mau tidak mau harus bertumpu pada telaah
secara literer.
Berbasis fakta, tulisan ini mengedepankan kajian
pustaka yang ditopang dengan sejumlah metode pendekatan seperti pendekatan
pragmatik dan pendekatan struktural. Dipilihnya dua pendekatan tersebut dirasa
mudah memadukannya dalam penelitian ini. Adapun karya sastra yang dijadikan
objek penelitian ini adalah cerpen Sepotong
Kaki karya Oka Rusmini.
Sehubungan dengan metode yang
digunakan peneliti, maka masalah yang digarap dalam penelitian ini berkisar
pada unsur-unsur intrinsik pembangun karya sastra, dan manfaatnya bagi pembaca
hubungan dinamis antara struktur karya sastra dengan efek serta tanggapan
pembaca.
Dalam analisis struktural dan
pragmatik unsur intrinsik cerpen, penulis telah menelaah unsur-unsurnya yang
meliputi; pertama, tema cerpen sepotong kaki karya Oka Rusmini, yaitu
diskriminasi masyarakat tradisi terhadap
perempuan dengan cacat fisik. Kedua, plot atau alur cerpen yang dirunut
maju mundur oleh pengarang. Ketiga, relasi antar tokoh erat penokohannya yang
begitu beragam karakternya, kemudian penampilan pola-pola struktur relasi antar
tokoh yang saling mempengaruhi ibarat kekuatan negatif melawan unsur kekuatan
positif. Keempat, setting cerpen yang
lokasinya di daerah sekitar Denpasar dengan situasi dalam cerita yang penuh
kegaduhan dan ketegangan. Kelima, Sudut pandang pula menjadi unsur yang kuat
dalam sebuah cerita yang wajib ditampilkan setiap pengarang dalam penulisan
cerita—dalam cerpen ini,sudut pandang aku dan dia. Keenam, Gaya bahasa yang
puitik pada umumnya diwarisi oleh setiap pengarang. Namun, Oka Rusmini juga
mewarisi gaya bahasa simbolik. Setiap cerita atau cerpen yang merupakan
gambaran kehidupan tentu dapat ditarik kesimpulan atas nilai-nilai kehidupan
yang dituangkan pengarang untuk mempengaruhi pembaca yang dicantumkan peneliti
dalam amanat cerpen.
Sedangkan, dalam analisis dan pragmatik unsur ekstrinsik
cerpen nilai-nilai budaya Bali yang sarat dengan adat istiadat, upacara dewa
dan manusa yadnya, seni tari serta lokasi-lokasi di Bali sebagai
simbol budaya lokal daerah Bali yang sangat kental merupakan ciri khas dari
cerpen ini. Dengan pengarang yang berlatarkan budaya Bali, agama Hindu dan
berkasta Brahmana, tinggal di daerah sekitar Denpasar, isi cerita ini merupakan
tumpahan imajinasi pengarang.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Sistem pendidikan nasional Indonesia adalah sistem
pendidikan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
sistem tersebut, pendidikan di Indonesia diharapakan mampu mencetak manusia
Indonesia seutuhnya yang berbudaya, berwatak dan berbudi luhur. Untuk itu,
pendidikan di Indonesia harus dikembangkan, termasuk juga salah satu didalamnya
pendidikan humaniora. Pendidikan humaniora dapat ditanamkan melalui pengajaran
sastra khususnya apresiasi sastra, karena sastra merupakan sarana untuk membina
manusia di dalam mengenal kehidupan dan masalah-masalahnya. Sastra sebagai
hasil karya penuis mengandung dan mengungkapkan banyak pengetahuan,
fenomena-fenomena tentang alam, lingkungan, nilai sosial, agama, dan seribu
satu macam nilai di dalam kehidupan ini. (Gamayana, 1998:1)
Mengingat
betapa tinggi dan luhurnya nilai-nilai yang dikandung suatu cipta sastra, kita
harus berusaha untuk menggali, memahami dan menghayati nilia-nilai yang
terkandung di dalamnya. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan cara
mengapresiasi hasil cipta sastra itu sendiri. Dengan cara mengapresiasi suatu
cipta sastra, kita diajak untuk berfikir secara lebih matang dan dewasa dan
tidak emosional, walaupun pada dasarnya sastra itu adalah suatu hasil karya
yang sifatnya emosional, namun kadar emosi yang terlibat di dalamnya sudah
menjadi pemikiran yang bijaksana. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa karya sastra
pada dasarnya merupakan salah satu
bentuk kreasi seni yang diabdikan pada nilai keindahan.
Suatu
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya, bahwa bagi kebanyakan
orang, sastra merupakan suatu yang masih asing dan berat. Untuk memahami suatu cipta sastra, seorang harus mempunyai
pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang luas. Dengan kata lain, hasil cipta
sastra masih perlu didekati dengan seperangkat pengetahuan yang cukup, sebab
tanpa pengetahuan yang cukup dan minat yang mendalam, hasil cipta sastra akan
sulit dipahami. Kesulitan yang dihadapi oleh kebanyakan orang di dalam upaya
menggauli, menghayati dan memahami hasil cipta sastra, karena pegetahuan,
pengalaman, dan wawasannya yang masih kurang, merupakan indikasi bahwa bagi
kebanyakan orang sastra dianggap suatu asing dan berat.
Di
tengah-tengah masyarakat sastra Indonesia sekarang ini, metode pendekatan yang
dianggap paling tepat untuk menilai cipta sastra, masih merupakan persoalan
yang menimbulkan perselisihan pendapat. Perselisihan pendapat ini terjadi
karena dari pihak sastrawan sering timbul anggapan yang menyatakan bahwa para
sarjana sastra memandang produk sastra seolah-seolah sebagai objek yang dapat
dipecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudian dianalisis unsur-unsurnya
tanpa melihat totalitas cipta sastra itu sendiri dan bagaimana proses
penciptaannya, sehingga cipta sastra lahir dan dapat tersaji dihadapan para
penikmat sastra. Perselisihan ini terus berlanjut karena perbedaan pandangan
dan konsepsi antara para sastrawan dan para sarjana sastra mengenai metode
pendekatan yang sebaiknya digunakan dalam menggauli hasil cipta sastra.
Pada
dasarnya, metode pendekatan apapun yang digunakan dalam menggauli hasil cipta
sastra, seharusnya berakhir dengan penilaian dan penilaiannya pun mau tidak mau
harus bertumpu pada hasil telaah secara literer. Untuk menilai suatu karya
sastra, penilaiannya harus berpangkal pada karya sastra itu sendiri atau
usur-unsur intrinsik yang membangun cipta sastra. Dengan kata lain, penilaian itu
harus berdasarkan pada teks sastra yang dinilai.
Dalam
upaya mendekati dan menggauli karya sastra, para sarjana sastra melontarkan
berbagai macam gagasan yang melahirkan berbagai macam metode pendekatan dan
kritik sastra, sehingga timbul berbagai macam aliran. Adanya berbagai macam
gagasan yang disodorkan oleh para ahli sastra, menandai kesungguhan mereka
dalam menggauli karya sastra. Namun demikian, masing-masing gagasan tersebut
tidak ada yang bersifat mutlak dan berdiri sendiri, tetapi antara yang satu
dengan gagasan yang lain sifatnya saling melengkapi, karena masing-masing
gagasan mempunyai kebaikan dan kelemahan.
Untuk
menggauli suatu cipta sastra, M.H.Abrams telah menawarkan pokok-pokok
gagasannya, yang pada dasarnya digolongkan menjadi empat macam pendekatan,
yaitu :
1. Kritik mimetic (mimetic critism), yaitu
kritik yang bertolak pada pandangan bahwa karya sastra merupakan suatu tiruan
atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Oleh krena itu kritik sastra
mimetic cenderung untuk mengukur kemampuan suatu harya sastra menagkap gambaran
kehiduapn yang dijadikan sebagai objek.
2. Kritik pragmatic ( pragmatic critism),
yaitu suatu kritik yang disusun berdasarkan pandangan bahwa sebuah karya sastra
itu disusun untuk mencapai efek-efek tertentu kepada pembacanya, seperti efek
kesenangan, estetika, pendidikan dan sebagainya. Kritik pragmatic ini
berkecendrungan untuk memberi penilaian suatu karya berdasarkan ukuran
keberhasialannya dalam mencapai tujuan tersebut.
3. Kritik ekspresif, yaitu kritik sastra
yang menekan pada telaahan kepada kebolehan pengarang dalam mengekspresikan
atau mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra (umumnya puisi). Dalam hal ini,
kritik sastra cenderung pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara
sadar atau tidak tercermin pada karya tersebut.
4. Kritik objektif, yaitu suatu kritik
sastra yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra
adalah karya yang mandiri. Ia tak perlu dilihat sebagai objek yang mandiri . Ia
tak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau dunia seekitarnya. Ia
harus dilihat sebagai objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri.
Oleh sebab itu, kritik yang dilakukan atas suatu karya satra merupakn suatu
kajian intrinsik semata. ( melalui Atar Semi, 1986: 12-13)
Dari
kempat pokok gagasan yang diajukan oleh Abrama tersebut, pendektaan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan objektif dan pendekatan
pragmatic. Penggunaan kedua macam pendekatan tersebut dalam penelitian ini,
dilakukan dengan cara menganalisis unsur-unsur instrinsik yang membangun karya
sastra, kemudian menafsirkan nilai-nilai sosial, budaya, kemanusiaan, dan
nilai-nilai lainnya yang terkandung didalamnya, yang berguna bagi masyarakat
khususnya pembaca. Dalam penelitian ini, kedua pendekatan tersebut tidak
digunakan secara terpisah tetapi dipadukan.
Mengingat
keterbatasan waktu, biaya, dan kemampuan penulis, penelitian ini hanya
menggunakan dua metode pendekatan dari empat metode yang dikemukakan oleh
Abrama, yaitu ; pendekatan pragmatic dan pendekatan objektif.
Dipilihnya kedua pendekatan tersebut dalam
penelitian bukan karena keduanya yang paling mulak, akan tetapi semata-mata
disebabkan oleh kemudahan memadukan kedua pendekatan tersebut dalam penelitian
ini. Adapun karya sastra yang dijadikan objek penelitian ini adalah cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini.
Apabila
kita berhadapan dengan bentuk karya sastra tertentu, kita akan menghadapi
persoalan yang menyangkut penikmatan dan pemahaman terhadap karya sastra itu.
Persoalan yang menyangkut penikmatan dan pemahaman ini akan menimbulkan
pertanyaan mengenai arti dan manfaat karya sastra tersebut bagi masyarakat,
khususnya pembaca.
1.2 Ruang
Lingkup Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, beberapa masalah yang
dapat penulis rumuskan dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut ;
1.2.1 Bagaimanakah kaitan antara unsur yang satu
dengan unsur yang lain dalam struktur yang membangun cerpen “Sepotong Kaki”
karya Oka Rusmini?
1.2.2 Manfaat
yang bagaimanakah yang didapatkan pembaca dari cerpen “Sepotong Kaki” karya Oka
Rusmini?
Disamping
itu, agar penelitian ini dapat dilaksanakan
dengan baik sehingga mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan, penulis
merasa perlu membatasi ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti serta
mengemukakan istilah atau pengertian struktur
yang digunakan dalam penelitian ini. Hal ini dikemukakan mengingat
luasnya pengertian struktur yang dipergunakan dalam ilmu sastra.
Sebagaimana
dikemukakan oleh kaum Strukturalistik yang berkaitan dengan analisis karya
sastra, adalah sebagai berikut :
Dalam sebuah struktur kelihatan taaa
sususnan serta berkaitan intern. Bagian-bagian baru memperoleh arti kalau
dipandanng dari keseluruhan, dan keseluruhan baru dapat dimengerti kalau kita
memperhatikan bagian-bagiannya. Bilanygh kita membaca sebuah teks maka
bagian-bagiannya kita tafsirkan secara lokal dan dan sementara saja; suatu
pengartian yang lebih lengkap baru terjadi bila kita menafsirkan dalam
lingkaran-lingkaran konteks yang luas,
(Hartoko, 1986:57)
Dari
pandangan yang dikemukakan oleh kaum Strukturalis mengenai analisis karya
sastra yang melihat dari segi strukturnya, secara tersirat mengandung
pengertian struktur, yakni lapisan-lapisan yang membangun suatu karya sastra
menjadi satu kesatuan bentuk yang utuh, dan mempunyai hubungan intern yang
bersifat timbal balik antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
Dedngan kata lain, secara lebih tegas, yang dimaksud dengan struktur adalah
unsur-unsur instrinsik yang membangun karya sastra.
Seperti
yang telah dikemukakan, penelitian ini menggunakan dua metode pendekatan secara
terpadu, yaitu pendekatan structural dan pendekatan pragmatik. Oleh karena itu,
masalah yang digarap dalam penelitian ini berkisar pada unsur-unsur intrisik pembangun karyasastra,dan manfaatnya
bagi pembaca. Secara spesifik masalah tersebut dapat di perincikan sebagai
berikut :
1. Menelaah
tema cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini;
2. Menelaah
setting cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini;
3. Menelaah
alur cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini;
4. Menelaah
suspense cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini;
5. Menelaah
pont of view cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini;
6. Menelaah
penokohan cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini;
7. Menelaah
gaya bahasa cerpen Sepotong Kaki
karya Oka Rusmini;
8. Menelaah
aspek moral cerpen Sepotong Kaki
karya Oka Rusmini;
1.3 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Konseptual
Secara konseptual,
tujuan yang ingin dicapai penelitian ini adalah untuk mengembangkan minat dan
kegiatan analisis karya sastra ini dikalangan masyarakat, khususnya masyarakat
pencinta sastra. Melalui penerapan kedua macam pendekatan dalam penelitian ini
secara terpadu, diharapkan pembaca dapat menggunakanya dalam upaya memahami
karya sastra cerpen khususnya cerpen
Sepotong Kaki karya Oka Rusmini.
. b.
Tujuan Praktis
Dari segi praktisnya, penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Mengetahui unsur-unsur
pembentuk cerpen Sepotong Kaki karya
Oka Rusmini;
2. Mengetahui kaitan intern
antarunsur dalam struktur pembentuk cerpen Sepotong
Kaki karya Oka Rusmini;
3. Mengetahu nilai-nilai yang terkandung dalam
cerpen Sepotong Kaki karya Oka
Rusmini yang bermanfaat bagi pembaca.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian
mengenai analisis structural dan pragmatis cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini ini diharapkan memberikan manfaat
sebagai berikut :
1.4.1 Bagi pembaca, sebagai acuan yang
dapat digunakan untuk memahami karya
sastra cerpen, kususnya cerpen Sepotong
Kaki karya Oka Rusmini.
1.4.2 Sebagai bahan pertimbangan bagi
pembinaan dan pengembangan apresiasi sastra cerpen secara lebih mendalam dan
sungguh-sungguh
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Tinjauan
Teoritis
Agar
hasil yang benar, tepat, dan sempurna seperti yang diharapkan dalam tujuan,
penelitian ini perlu didukung oleh pemahaman tentang teori kesusastraan
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2.1.1 Pengertian
analisis
Dalam
kaitannya dengan pembinaan dan pengembangan apresiasi sastra Indonesia,
dperlukan semacam kegiatan analisis karya sastra. Pengertian analisis pada
hakikatnya mempunyai makna yang kurang lebih sama dengan apresiasi. Oleh karena
itu, pengertian analisis dapat dikatakan sebagai suatu upaya, aktivitas, atau
kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh
pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran, dan kepekaan perasaan yang baik
terhadap cipta sastra (S.Efendi, dalam Fitriyah, 1988:16).
2.1.2 Pengertian
Struktural
Secara
leksikal kata struktural berasal dari bahasa Inggris, yaitu structur yang
berarti susunan. Dalam bahasa Indonesia struktur berarti bangunan atau bentuk
yang tersusun oleh adanya unsur-unsur atau bagian-bagian yang saling berkaitan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata struktural yang dipakai dalam
penelitian ini berarti bentuk karya sastra yang dibangun oleh unsur-unsur yang
saling berkaitan secara harmonis.
2.1.3 Pengertian pragmatik
Istilah
pragmatis yang dipergunakan dalam penelitian ini berarti suatu pendekatan yang
menekankan kajian pada nilai-nilai yang tekandung di dalam suatu hasil cipta
sastra. Dalam kaitannya dengan analisis, pendekatan ini berhadapan dengan
relativitas keindahan dan konsep nilai didaktis karya sastra.
2.1 Landasan
Teori
Berangkat dari
ruang lingkup masalah, tujuan, manfaat dan metode penelitian yang telah
dirumuskan di atas, berikut ini penulis mengemukakan landasan teori yang
digunakan.
Apabila kita
berbicara tentang sastra, kita dihadapkan pada suatu permasalahan yang
menyangkut hakikat karya sastra itu sendiri. Berbagai macam gagasan dilontarkan
oleh para ahli untuk menjawab permasalahan tersebut. Seiring dengan pertumbuhan
dan perkembangan ilmu dan teknologi, bermunculan berbagai macam aliran dengan
konsepnya masing-masing mengenai hakikat karya sastra. Namun demikian, semua konsep
yang telah diajukan tidak ada yang dapat memberikan jawaban secara memuaskan,
karena masing-masing konsep mempunyai kelemahan dan kelebihan.
Salah satu
aliran yang pendekatannya masih dipergunakan hingga saat ini adalah aliran
strukturalis dengan pendekatan struktural. Aliran ini pertama-tama berkembang
sekitar tahun 60-an di Prancis dengan pelopornya Rene Wellek dan Roman
Jakobson. Aliran ini menganut faham bahwa untuk menilai sebuah karya sastra
secara objektif, harus berdasarkan karya sastra itu sendiri. Bertitik tolak
dari pandangan kaum strukturalis tersebut, A. Teew memberikan rumusan sebagai
berikut :
Asumsi dasar strukturalisme; sebuah karya
sastra merupakan keseluruhan, kesatuan makna yang bulat, mempunyai koherensi
intrinsik; dalam keseluruhan itu setiap bagian dan unsur memainkan peranan yang
hakiki, sebaliknya unsur dan bagian
mendapat makna keseluruhan teks; lingkaran hermeneutik (1981:5).
Karena
karya sastra itu adalah struktur yang bermakna dan merupakan sebuah sistem yang
menggunakan medium bahasa, maka untuk menganalisis suatu produk sastra
diperlukan suatu pendekatan untuk memahami unsur-unsur yang menjadi pembentuk
struktur karya sastra. Dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut, pendekatan
yang lebih utama mendapat prioritas adalah pendekatan struktural. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh A. Teew berikut ini :
Analisis struktural merupakan prioritas
utama sebelum yang lain-lainnya. Tanpa pendekatan struktural, maka unsur
intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu, tidak akan terjangkau.
Perngetian unsur-unsur karya sastra
hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuh-penuhnya atas dasar pemahaman
tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan teks karya sastra (1983:61).
Dari
beberapa pendapat yang telah dikemukakan tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Untuk memahaminya,
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu harus dianalisis terlebih dahulu,
barulah dianalisis faktor-faktornya yang lain.
Setiap
unsur yang membangun karya sastra dalam situasi tertentu dengan sendirinya
tidak memiliki arti, melainkan artinya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur
lain yang terlibat dalam situasi itu. Hal ini berarti bahwa usaha untuk
menganalisis karya sastra sebagai satu kesatuan organis yang utuh, yang
dibangun oleh unsur-unsurnya secara berkaitan.
Putu
Arya Tirtawirya memberikan gambaran tentang unsur-unsur yang membangun struktur
sebuah cerita pendek sebagai berikut :
Sebuah cerita pendek yang lengkap haruslah
strukturnya tersusun oleh unsur-unsur yang mempunyai keterkaitan antara yang
satu dengan yang lain. Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, plot (jalinan
cerita), setting, susunan cerita dan karakter atau penokohan. Unsur-unsur ini
harus ditunjang oleh faktor-faktor yang berada di luar karya sastra, agar
pengarang berhasil dalam penggambaran watak pelaku (1982: 38-39).
Uraian
yang lebih lengkap tentang unsur-unsur intrinsik karya sastra adalah uraian
yang dikemukakan Jakob Suarjo, yakni tema, plot, karakter, setting, suasana
cerita, gaya bahasa, dan sudut pandang penceritaan (dalam Badrun, 1982: 109).
Dalam
sebuah artikelnya, Made Sukada mengemukakan unsur-unsur intrinsik pembangun
karya sastra terbagi menurut eksistensi karya sastra itu sendiri. Adapun
unsur-unsur intrinsik yang dimaksud adalah :
1.
Elemen-elemen
cipta sastra, seperti insiden, plot, karakter.
2.
Teknik
cerita, dan
3. Komposisi
cerita.
Bagian pertama merupakan elemen-elemen yang terkandung
didalam struktur cerita yang disebut content, sedangkan tiga bagian terakhir
merupakan bagian yang membangun struktur bentuk cerita. Yang mengandung
sejumlah content yang secara eflisit merupakan pengejawantahan unsur-unsur di
luar karya sastra.
Sebuah
cerita pendek yang lengkap haruslah memiliki ‘ingredient’ seperti berikut ini :
(1) theme; (2) plot, trap or dramatics
conflict; (3) characterdelincation; (4) Suspense and foreshed dowing (5)
immadiacy and atmosfhere; (6) point of view; dan (7) limited focus and unity
(S. Tasrif dalam Tarigan, 1985: 135).
Meskipun unsur-unsur tersebut secara khusus ditujukan untuk
sebuah cerita pendek, tetapi unsur-unsur tersebut berlaku juga cerita pendek
rekaan secara umum.
Pada dasarnya, setiap pendapat tentang unsure-unsur
instrinstik karya sastra yang dikemukakan oleh para ahli disadari oleh
pernyataan mengenai hakikat dan proses penciptaanya. Keduanya dinyatakan dalam
bentuk pernyataan, yaitu : apa yang
dimaksud dengan fiksi dan bagaimana proses penciptaan fiksi ? Apabila keduanya
dibandingkan tampak adanya persamaan dan perbedaan mengenai kuantitas
unsure-unsur yang membangun sebuah karya sastra. Namun demikian yang lebih
penting untuk diperhatikan dari persamaan dan perbedaan tersebut adalah karya
sastra hendaknya/seharusnya bersifat “utle et ducle” yakni bermanfaatdan
menyenangkan. Sifat karya sastra yang demikianlah yang dijadikan tolok ukur di
dalam menghampiri dan menilai hasil cipta karya sastra.
Sebagaimana telah digariskan sebelumnya. Di samping
menggunakan pendekatan strukural, penelitian ini juga mempergunakan pendekatan
fragmatik. Dengan pendekatan fragmatik akan terlihat bagaiman hubungan dinamis
antara struktur karya sastra dengan efek
serta tanggapan pembaca. Dalam studi pragmatik., tugas seorang pembaca adalah
menemukan dan menafsirkan makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah
karya sastra.
Dalam
kemelut sastra dewasa ini, ada kecenderungan bahwa sastra semakin terlepas dari
situasi komunikasi sosial secara normal. Sastra menjadi urusan pembaca secara
individu. Karya sastra adalah untuk dibaca, dinikmati, diphami, ditafsirkan, dan
dinilai secara sendiri saja, sesuai dengan daya dan kemampuan pembaca itu
sendiri. Karena itu, suatu hal yang logis apabila dikatakan bermutu tidaknya
sebuah karya sastra bergantung pada bermanfaat tidaknya karya sastra tersebut
masyarakat pembaca sebagai konsumen yang menikmatinya
Karya
sastra menyuguhkan sesuatu yang bermanfaat bagi pembaca. Di dalamnya tersimpan
beragam nilai dan karakter kemanusiaan, yang memberikan hikmah tertentu bagi
pembaca. Mengingat karya sastra merupakan produk masyarakat , maka karya satra
merupakan produk masyarakat, maka karya sastra juga menggambarkan kehidupan
masyarakat.
Karena karya sastra menggambarkan kehidupan masyarakat
secara umum, tentunya karya sastra akan memberikan pelajaran yang bermanfaat
bagi pembacanya. Adapun beberapa manfaat karya sastra yang dapat diungkap dalam
kesempatan ini adalah sebagai berikut :
1. Karya sastra memberikan kesenangan dan kepuasan rohani kepada
pembaca;
2. Karya sastra memenuhi kebutuhan manusia terhadap keindahan;
3. Karya sastra
memberikan kesadaran bagi pembaca mengenai kebenaran-kebenaran di dalam
kehidupan ini;
4. Karya sastra
memberikan pengetahuan dan pengalaman secara mendalam tentang manusia kepada
pembacanya;
5. Karya sastra
dapat memberikan kepada pembaca penghayatan yang mendalam apa yang terhadap apa
yang diketahuinya;
6. Karya sastra
dapat membantu proses pembentukan manusia menjadi makhluk yang berbudaya.
Karya sastra
memanglah bukan kenyataan sosial, melainkan hasil kesadaran manusia
berkotemplasi. Namun harus di ingat bahwa karya sastra dalam proses
penciptaanya selalu bertolak terhadap realita social yang terjadi
ditengah-tengah kehidupa masyarakat.karena itu, karya sastra dapat dinkatakan
sebagai kenyataan social yang telah mengalami proses perenungan., yang telah di
bumbui oleh kekuatan imajinasi pengarangnya. Melalui karya sastra pengarang
ingin menelanjangi kepincangan-kepincangan social dan kobobrokan-kebobrokan
masyarakat. Dengan karya sastra pengarang berusaha membuaka mata manusia agar
mau memperbaiki kepincangan-kepincangan tersebut. Pengarang adalah anggota
masyarakat yang selalu terlibat dalam kehidupan manusia, sehingga merasa
berkewajiban menjaga keharmonisan hidup masyarakatnya.
Demikianlah uraian
tentang beberapa teori yang penulis jadikan sebagai dasar pijakan dalam
penelitian ini.
BAB III
METODE DAN
SUMBER DATA PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Agar
tujuan penelitian yang telah dirumuskan dapat dicapai dengan baik, diperlukan
penggunaan metode yang setepat-tepatnya. Dalam hubunganya dengan hal tersebut,
Arief Furchan mengatakan bahwa metode berarti strategi yang dipakai dalam
pengumpulan dan analisis data guna menjawab persoalan yang dihadapi, (Furchan ,
1982:50). Selanjutnya, pengertian metode yang lain perlu dikemukakan di sini
adalah rumusan yang dikemukakan oleh Fuad Hasan, yaitu cara kerja untuk
memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, (Hasan
,1977:16). Jadi yang dimaksud dengan metode dalam penelitian ini adalah cara
kerja yang digunakan dalam suatu penelitian dalam suatu penelitian untuk memahi
objek yang telah dipilih.
Berdasarkan objek dan tujuan
penelitian yang telah digariskan, di dalam penelitian ini penulis menempuh
berbagai macam metode pendekatan.
3.1.1 Metode Pragmatik
Pendekatan
pragmatik adalah suatu metode pendekatan yang menganut prinsip bahasa sastra
yang baik adalah sastra yang dapat memberikan kesenangan dan faedah bagi
pembacanya, (Atar Semi : 44). Bermutu tidaknya suatu karya sastra ditentukan
oleh nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Berangkat dari arti pragmatis
tersebut, penggunaan metode pragmatic dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam cerpen Rembulan.
3.1.2 Metode Struktural
Pendekatan struktural
membatasi diri pada penelahaan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal
pengarang dan pembaca ( Atar Semi : 44). Pengertian ini didasarkan atas faham
bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur
yang dibangun oleh berbagai unsur yang saling berkaitan, membentuk satu
kesatuan yang utuh berdasarkan keteraturan hubungan.
Penggunaan pendekatan
struktural dalam peelitian ini dimaksudkan menganalisis cerpen Rembulan dari
segi unsur intrinsik pembangun karya sastra. Adapun yang termasuk unsure-unsur
inrtrinsik yang membangun struktur cerita dalam sebuah cerpen, menurut Putu
Arya Tirtawirya adalah 1). Tema, 2). Plot, 3). Setting, 4). Susunan cerita, 5).
Karakter/Penokohan ( Tirtawirya , (1982
:39).
3.1.3 Metode Pengamatan
Metode pengamatan ini merupakan tindak lanjut dari dua pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan
pragmatik. Dengan pengamatan yang cermat terhadap objek penelitian, pembahasanya
diharapkan dapat memberikan hasil yang objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
3.1.4 Metode
Sampling
Digunakanya
metode sampling dalam penelitian ini adalah untuk menyeleksi data-data yang
berupa kejadian atau peristiwa dalam cerpen
Sepotong Kaki, yang erat hubunganya dengan unsur-unsur yang akan diteliti.
3.2 Sumber
Data Penelitian
Objek telahaan yang dipergunakan sebagai
sumber data di dalam penelitian ini adalah cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini. Cerpen ini dimuat dalam antologi
cerpen Sagra karya Oka Rusmini.
BAB IV
ANALISIS STRUKTURAL DAN PRAGMATIK CERPEN
Adapun analisis struktural dan pragmatik cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini
akan dijabarkan penulis lebih lanjut sebagaimana berikut ini.
4.1. Analisis Struktural dan Pragmatik Unsur Intrinsik Cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini
Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra itu sendiri. Unsur
Intrinsik cerpen terdiri atas : 4.1.1 Tema, 4.1.2 Plot (Alur), 4.1.3 Penokohan (Perwatakan), 4.1.4 Setting
(Latar), 4.1.5 Sudut Pandang (Titik Kisah), 4.1.6 Gaya Bahasa, dan 4.1.7 Amanat.
4.1. 1 Tema
Tema adalah gagasan pokok atau permasalahan
yang digunakan penulis untuk menbembangkan cerita..
Sepotong Kaki merupakan cerpen bertemakan diskriminasi masyarakat tradisi terhadap perempuan dengan cacat fisik (kaki pincang). Dikatakan demikian karena
pada awalnya Centaga, nama perempuan dengan cacat fisik itu, sangat mencintai
seni tari budaya Bali. Dengan perjuangan dan optimisnya, Centaga berhasil
menguasai beberapa jenis tarian seperti tari legong dan tari rejang sekalipun dengan kaki yang tak sempurna.
Akan tetapi, keinginan Centaga
untuk menari di setiap upacara besar di Pura rupanya tidak berjalan mulus,
lantaran adanya kecemburuan sosial dari berbagai pihak baik dari kaum sejenis
maupun lawan jenisnya. Pun penghinaan dari masyarakat bahwa penari dengan kaki
pincang akan mencemarkan nama baik desa apabila tetap diperbolehkan menari.
Segala bentuk diskriminasi dari masyarakat tradisi itu seolah-olah tidak
memberikan kesempatan pada kaum cacat fisik untuk memiliki kebebasan dalam
menyuarakan dirinya lewat kemampuan serta bakat yang dimilikinya. Hal yang
sedemikian adanya, akhirnya memengaruhi keputusan tokoh Centaga untuk memotong
kaki kirinya yang pincang.
4.1.2 Plot
(Alur)
Plot atau alur
adalah rangkaian peristiwa yang sambung-menyambung dalam sebuah cerita
berdasarkan sebab akibat. Sebelum mengulas plot cerita , alangkah baiknya
peneliti cantumkan sinopsis cerpen Sepotong
Kaki karya Oka Rusmini terlebih dahulu.
Sinopsis cerpen Sepotong Kaki
Sepotong Kaki mengawali ceritanya dengan menampilkan tokoh I
Gusti Ngurah Putu Sanggra yang tengah menyaksikan pergelaran tari Legong. Ia dalam keadaan mabuk. Lelaki
bebotoh itu tengah tergiur dengan pesona
kaki penari legong yang bernama Ida Putu
Centaga Nareswari. Pemilik hotel-hotel besar di sekitar Kuta dan Ubud itu
terkenal jago berkelahi, jago memikat perempuan, dan selalu buat ribut. Sanggra
yang selalu apatis terhadap asal-usul kelahirannya tidak pernah mempercayai
nilai sakral perkawinan. Sampai ia bertemu Centaga
*
Ketertarikan Sanggra pada Centaga terus mengalir.
Tidak hanya Sanggra, bahkan Si Wayan dan para lelaki juga tergiur dengan pesona
kaki Centaga ketika menari. Dan awal misteri tentang kaki Centaga akan
terungkap.
*
Centaga
menceritakan asal-usul kelahirannya dan asal-usul keterkaitannya dengan
orang-orang di griya. Bahwa,
Centaga terlahir dari seorang perempuan Sudra bernama Ni Luh
Rubag atau Jero Pudak (nama setelah masuk kasta Brahmana). Jero Pudak sering
kali menjadi bahan perbincangan perempuan-perempuan desa. Namun,. Centaga telah
banyak melakukan penolakan, bahwa tidak benar Jero Pudak adalah perempuan yang
mampu menidurkan seratus laki-laki dalam satu hari!
Selain
ibunya, Centaga juga menyatakan rasa bangga terhadap neneknya yang sangat
konsisten dengan adat dan masih menghargai pakem leluhurnya. Centaga
menceritakan penjelasan nenek tentang ayah Centaga. Bahwa ayah Centaga adalah
reinkarnasi dari Ida Bagus Oka Tugur (orang pertama yang membangun griya)dan
Ida Ayu Manik. Mereka putung. Tidak lama kemudian mereka meninggal. Maka
berkuasalah balian di griya, balian
yang sesungguhnya membuat mereka putung
Roh ayah ditahan di Pura
Dalem. Nenek sudah berusaha menembus roh ayah
dengan beratus-ratus sesajen, namun tak berhasil. Centaga selalu
berusaha berdialog dengan tubuh-dalamnya.
Cara didik Jero Pudak yang
penuh kasih sayang dari pada ayahnya yang tempramen terhadap Centaga membuat
Centaga senantiasa bersama ibunya ketika ia masih dini. Jero Pudak menjaga dan
membesarkan Centaga dengan caranya. Centaga memandang Jero Pudak sebagai suatu
keindahan, matanya ibarat Kali Badung..
*
Laki-laki di sekitar arena
terus berteriak. Centaga menarik nafas. Kemudian Sanggra merayu Centaga agar
mau menikah dengannya, sembari menceritakan dongeng terindah tentang sejarah
cinta, tentang Ken Arok dan Ken Dedes.
*
Dayu Ratih menghina Centaga
bahwa Centaga tak akan pernah bisa menari karena kakinya cacat. Menurut
pengakuan Dayu Ratih, Luh Karni memilih Dayu Ratih untuk menarikan Sita karena
kakinya yang cantik. Dayu Ratih tetap membanggakan dirinya sendiri di depan
Centaga. Namun, Centaga menolak penghinaan itu. Centaga bersikeras menari. Dan
Luh Karni tetap memberi semangat, mengajari serta menanam taksu di tubuh Centaga. Luh karni menusukkan tusuk kondenya ke kaki
kiri Centaga.
*
Sembari menari Centaga
teringat akan penghinaan perempuan-perempuan griya akan kakinya. Konsentrasinya
buyar.
*
Keinginan Centaga untuk menari
rejang pada sebuah upacara besar di
pura-pura pernah ditolak seorang laki-laki tua (pemangku) kasrena kakinya
pincang. Lelaki yang pernah mendongengkan kebesaran kitab-kitab suci dan
dewa-dewa itu sangat mengkhawatirkan upacara besar di Pura akan tercemar dan
wabah penyakit akan menyerang desanya apabila membiarkan Centaga ikut menari.
Begitu penjelasan Centaga tentang pemangku.
Akhir cerita, Centaga melepas
baju tarinya. Ia telanjang depan cermin. Ia mengangkat kaki kirinya
tinggi-tinggi, kemudian dipotongnya.
Centaga mengusap seluruh tubuhnya yang telanjang dengan darahnya. Potongan
kakinya diletakkan di atas dulang kayu, lalu diupacarai dengan caranya sendiri.
Centaga menari. Terus
Menari.***
Dari Sinopsis Cerpen di atas, maka peneliti dapat
menampilkan skema plot (alur) cerpen Sepotong
Kaki yang dirunut mulai dari : 1. tahap perkenalan atau introduksi, 2.
tahap awal ketegangan, 3. tahap penanjakan ketegangan, 4. tahap konflikasi, 5.
tahap peredaan, dan 6. tahap penyelesaian. Skema plot cerpen tampak di bawah ini.
Plot /Alur Cerpen Sepotong Kaki
|
||||||
|
||||||
![]() |
||||||
|
|||||||||||||
![]() |
|||||||||||||
|
|||||||||||||
![]() |
|||||||||||||
|
|||||||||||||
![]() |
|||||||||||||
|
|||||||||||||
![]() |
|||||||||||||
Cerpen Sepotong Kaki memiliki pola plot (alur)
campuran, yang terdiri atas plot maju dan plot mundur. Pada pola plot
mundur dapat dibuktikan seperti adanya
bagian kisah masalalu yang diceritakan kembali oleh tokoh Centaga.
4.1.3 Tokoh, Penokohan dan Relasi Antar Tokoh
4.1.3.1 Relasi Tokoh Sanggra dan Ketertarikannya pada Centaga
I Gusti Ngurah Putu Sanggra
adalah figur lelaki kaya yang sombong dan angkuh. Lelaki bebotoh ini terkenal
jago berkelahi, selalu buat ribut, jago memikat perempuan, dan memiliki gairah
(birahi) yang cukup tinggi ketika melihat pesona keindahan pada salah satu kaki
milik penari legong yang bernama Ida Putu Centaga Narewari. Sanggra yang selalu
apatis terhadap asal-usul kelahirannnya tak pernah mempercayai nilai sakral
perkawinan. Sampai ia bertemu dengan Centaga.Tidak hanya Sanggra, bahkan juga
Si Wayan pembantu Sanggra, dan para lelaki (penonton) di arena pergelaran tari
juga sangat tertarik dan tergiur dengan pesona kecantikan Cendaga. Namun,
mereka belum mengetahui bahwa salah satu kaki Centaga pincang.
Uraian tersebut memperlihatkan
bahwa pengarang mengawali ceritanya
dengan menampilkan tokoh Sanggra, didampingi Si Wayan, serta figur penonton.
Penokohan Sanggra ditampilkan lebih dominan dalam tahapan cerita ini. Kehadiran
Sanggra dan dua tokoh pendamping tersebut hanyalah sebagai tokoh penghantar
dimana akan beranjak pada perkenalan tokoh utamanya. Centaga sebagai penari
legong diposisikan sebagai objek semata, dimana hanya dideskripsikan oleh
tokoh-tokoh tersebut di atas sebagai suatu keindahan yang memberi rangsangan
terhadap lingkungan sekitar : memengaruhi gairah lelaki tanpa sentuhan
(Centaga).
Jika rangkaian struktur penokohan Sanggra yang mendominasi figur
Wayan dan para lelaki ketika menyaksikan Centaga menari dapat ditampilkan pada
bagan berikut ini.
* Pola Struktur Penokohan Sanggra, Wayan, dan Para
Lelaki ketika menyaksikan Cendaga menari
|


![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||


Centaga yang dijadikan pusat
perhatian tokoh-tokoh tersebut di atas tiba-tiba bercerita tentang asal-usul
tentang dirinya sendiri, bagaimana ibu, tuniang,
ayah, serta asal-usul tentang ayahnya. Diceritakan bahwa Centaga lahir dari
seorang perempuan Brahmana yang
bernama Ni Luh Rubag atau Jero Pudak. Jero Pudak adalah figur ibu yang penuh
kasi sayang. Ia membesarkan dan menjaga Centaga dengan caranya sendiri. Hal ini
membuat Centaga merasa lebih nyaman berada didekatnya.
Selain ibunya, Centaga juga
menyatakan rasa banggga terhadap tuniang,
perempuan tua yang selalu konsisten dengan adat istiadat serta tetap menghargai
pakem leluhurnya. Ia yang membesarkan keluarg Griya. Perempuan luar biasa yang
sangat dikagumi Centaga berwatak kasar dan keras.
Berbeda dengan ayah Centaga.
Figur lelaki yang tak peduli pada pertumbuhan Centaga sering mengamuk setiap
ada rerainan. Kata balian, ayah
adalah reinkarnasi dari Ida Bagus Oka Tugur (roh pemilik griya yang sah)dan Ida
Ayu Manik. Dan Centaga selalu berusaha beradaptasi dengannya, mencoba berdialog
dengan tubuh-dalamnya. Semua cerita ini Centaga dengar dari neneknya.
Mengenai kejelasan silsilah
keluarga griya serta penokohan
masing-masing tokoh yang diceritakan Centaga
dapat ditampilkan pada bagan bagian berikut.
Pola Struktur Keluarga griya
Tuniang



Ida
Putu Centaga Nareswari
Seusai Centaga menceritakan
mengenai hal tersebut di atas, muncul tokoh-tokoh lain dengan penokohan yang
berbeda-beda tentunya. Pertama, kehadiran Dayu Ratih yang berwatak sombong dan
egois selalu menghina Centaga bahwa Centaga tak akan pernah bisa menari lataran
kakinya yang cacat. Tokoh kedua, bertolak belakang dengan penghinaan Dayu
Ratih, Luh Karni mengajari, memberi spirit, serta memasang taksu di tubuh
Centaga agar ia bisa menari. Walau menurut pengakuan Dayu Ratih, Luh Karni
memilih Dayu Ratih untuk menarikan Sita dalam pemetasan sendratari karena
kakinya yang cantik. Tokoh ketiga, yakni pemangku. Pemangku melarang Centaga menari
Rejang karena kakinya pincang dan dikhawatirkan akan mencemarkan upacara besar
di Pura, serta menjadi wabah penyakit yang akan menyerang desanya.
Penghinaan terhadap Cendaga
oleh Dayu Ratih dan Pemangku tidak memupuskan semangat Centaga untuk terus menari
dan menari.
Relasi penghinaan terhadap
cacat Centaga dan semangatnya menari
dapat ditampilkan pada bagan di bawah ni.
4.1.3.2 Pola Struktur Relasi
Penghinaan terhadap cacat Centaga dan Semangatnya Menari
![]() |


Dayu Ratih menghina Menurut
pengakuan Dayu Ratih,
Centaga, bahwa Centaga Luh Karni memilih Dayu Ratih
tak akan bisa menari untuk
menarikan Sita
yang cantik karena
kakinya
karena kakinya yang yang
cantik
cacat.
![]() |
|||
![]() |
|||


Pemangku melarang menyemangati,dan
Centaga menari Rejang memasang taksu di

bisa
menari
Pujian para lelaki tentang
keindahan tubuh Centaga, pujian Sanggra yang mengatakan Centaga Indah dan
membandingkannya dengan kaki Ken Dedes yang menarik hati-hati Ken Arok,
semangat Jero Pudak menanamkan petuah tentang keperempuanan dengan mengatakan
bahwa dari tubuh Centaga raja-raja akan lahir, serta penghinaan-penghinaan yang
bertubi-tubi menghampiri Centaga sangat mempengaruhi sikap serta pola pikir
Centaga hari demi hari. Sehingga Centaga mengambil keputusan untuk memotong
kaki kirinya. Berikut akan ditampilkan relasi prilaku tokoh-tokoh yang
mempengaruhi Centaga untuk memotong kaki
kirinya.
4.1.3.3 Pola Struktur Relasi Tokoh terhadap Centaga
untuk Memotong Kaki Kirinya
|
||||||
|
||||||
![]() |
![]() |
![]() |
||
|
||||
|
||||
Dari uraian tersebut di atas,
tampak Centaga yang mendominasi tokoh-tokoh lainnya dalam cerita. Maka peneliti
menyimpulkan bahwa dalam Cerpen Sepotong
Kaki ini menampilkan Centaga sebagai tokoh utamanya dengan perwatakan
cerdas, terbukti ia mengusai seni tari budaya Bali tanpa kaki yang sempurna,
penuh semangat hidup, suka mendengar cerita ibu dan tuniangnya tentang
asal-usul oraang-orang di griya.. tegas ketika ia menolak
pandangan-pandangan orang tentang ibunya Jero pudak, serta berani menentukan
pilihan hidup seperti memotong kaki kirinya, serta tak putus asa mencintai
ayahnya yang selalu tidak peduli dengan hidup Centaga.
Tokoh-tokoh sampingan lainnya yang terlibat dalam cerpen ini ialah
I Gusti Ngurah Putu Sanggra, Ni Luh Rubag ( Jero Pudak), Tuniang, Ayah, Dayu
Ratih, Luh Karni, dan Lelaki Tua (Pemangku). Tokoh lain yang diceritakan hanya
segelintir saja ialah Ida Bagus Oka Tugur, Ida Ayu Manik, Balian, Si Wayan, dan para lelaki.
4.1.4 Setting ( Latar)
Peristiwa-peristiwa yang
dialami tokoh-tokoh cerita terjadi di tempat tertentu, waktu tertentu, dan
dalam suasana tertentu. Setting atau latar mencakupi tiga hal, yaitu setting tempat, setting waktu, dan setting suasana.
Ada beberapa setting yang ditampilkan dalam Sepotong kaki , yakni:
1. Setting
tempat, yakni sekitar Denpasar. Terletak pada kalimat: “Ia pemilik hotel-hotel
besar di sekitar Kuta Dan Ubud.”
2. Setting
suasana, yakni gaduh atau hiruk-pikuk dan menegangkan. Misalnya pada kalimat : “Suara-suara para penonton
mengigilkan tubuh Centaga” dan “Luh Karni menarik tusuk kondenya, dan
ditusukkan ke kaki kiri Centaga. Centaga menjerit. Darah segar muncrat. Tusuk konde itu mengisap darah dengan
rakus.”
4.1.5 Sudut Pandang
Sudut Pandang dalah posisi
pencerita terhadap kisah yang diceritakannya. Ada tiga macam titik kisah yang
sering dipakai pengarang, yaitu sebagai berikut.
1. Sudut pandang orang pertama
pelaku utama. Pengarang sebagai salah satu pelaku ( narrator acting).
2. Sudut pandang orang ketiga atau
orang. Pengarang sebagai pengamat.
3. Sudut
pandang ku dan dia. Pengarang sebagai pelaku dan sekaligus pengamat
(
narrator omicient).
Dari uraian di atas, dapat
peneliti simpulkan bahwa Sepotong Kaki merupakan
cerpen dengan sudut pandang campuran ku
dan dia (orang ketiga tunngal). Berikut dapat ditunjukkan dengan
kalimat yang bersangkutan.
Orang
ke-III (bagian 1): Asal-usul I Gusti Ngurah Putu Sanggra dan
ketertarikannya pada Ida Putu Centaga Nareswari.
Kalimat : “LIHAT!
Alangkah indahnya kaki penari legong
itu…..” .
“
Laki-laki itu menangkap air liurnya…….”
Orang
ke-III: (bagian 2) Lanjutan
ketertarikan Sanggra pada Centaga dan awal misteri tentang kaki Centaga.
Kalimat: “I
Gusti Ngurah Putu Sanggra terus brerteriak.”
“Tapi
bukankah perempuan itu tak memiliki kaki? Bagaimana mungkin dia bisa menari?
Orang ke-1 (bagian 3) Asal-usul Centaga, ibunya (Ni Luh Rubag
atau Jero Pudak) dan (Centaga berkisah ) ayahnya.
Kalimat: “Namaku
Ida Putu Centaga Nareswari.”
“Ibuku,
Ni Luh Rubag, perempuan biasa, perempuan Sudra, perempuan kebanyakan.”
“Ayahku
laki-laki yang sangat tidak peduli dengan hidupnya.”
Orang ke-1 (bagian 4) Lanjutan asal-usul tentang ayah Centaga.
(Centaga berkisah)
Kalimat : “Pada
saat ayah kumat, aku merasa tak ada orang yang bisa merangkai kegelisahanku.”
“Sesungguhnya
yang menitis dalam tubuh ayah adalah adalah roh pemilik griya yang sah.”
Orang ke-1 (bagian 5) Centaga membandingkan ayah dengan
ibunya.
(Centaga berkisah )
Kalimat : “Aku
tak pernah mengenal laki-laki itu dengan baik, juga jarang berbicara dengannya.
A ku lebih suka bercerita pada ibu.
Orang ke-III (bagian 6) Rayuan
Sanggra terhadap Centaga.
Kalimat: “Aku
ingin menikahimu, Centaga. Katakan apa
yang kau inginkan dariku,” suara I Gusti Ngurah Putu Sanggra terngiang jelas di
telinga Centaga.”
Orang ke-I (bagian 7) Penolakan
Centaga atas rayuan Sanggra dengan cara menyamakan Centaga dengan dongeng
tentang sejarah cinta Ken Arok dan Ken Dedes.
Kalimat: “Aku
bukan Ken Dedes, putri Mpu Purwa dari Panawijen. Aku Juga bukan titisan Dewi
Laksmi, istri Dewa Wisnu. Aku, Centaga, perempuan buiasa…..”
Orang Ke-III ( bagian 8) Penghinaan
Dayu Ratih terhadap kaki Centaga.
Kalimat : “
“ Kau tak akan pernah bisa menari, Centaga. Tidak!” suara Dayu Ratih melekat di
otak Centaga.”
Orang ke-III ( bagian 9) Luh Karni
memberi semangat pada Centaga untuk menari.
Kalimat: “
“Ayo, Tugeg, menarilah. Cobalah,”
suara Luh Karni terdengar kering dan dingin.”
Orang ke-III( bagian 10) Semangat,
doa dan harapan Centaga.
Kalimat : “Aku
harus bisa menari . Sekalipun dengan satu kaki. Hyang Taksu11 aliri dagingku yang lumpuh ini…..” Hanya itu doa
yang terus diucapkan Centaga.
Orang ke-III( bagian 11) Ingatan
Centaga terhadap hinaan perempuan-perempuan di griya pada kakinya.
Kalimat : ”
“Kau bukan perempuan sejati. Ingat itu, Centaga. Seorang laki-laki pernah
menolakmu ketika dilihatnya kaki kirimu tak sindah kaki kananmu….”—suara
perempuan-perempuan kecil griya
membongkar konsentrasi Centaga.
Orang ke-III( bagian 12) Penolakan
pemangku atas keinginan Centaga menari Rejang di Pura.
Kalimat: “
“Ini Upacara suci. Kalau kau ikut menari, upacara besar di Pura akan
tercemar…………” kata laki-laki itu dengan wajah mengeras. Centaga diam.
Orang ke-I( bagian 13) Penjelasan
Centaga tentang pemangku.
(Centaga berkisah) “Ya.
Aku pernah mengenal laki-laki itu. Laki-laki yang mengajari arti membuka mata
untuk hidup. Yang mendongengkan kebesaran kitab suci dan dewa-dewa….”
Orang ke-III (bagian 13)Centaga melepas busana tarinya dan memotong kaki
kirinya.
Kalimat: “
“Aku telah kenakan busana tari dari darahku, lengkap dengan bunganya.,” gumam
Centaga, dan meletakkan potongan kakinya di atas dulang kayu……”
4.1.6 Gaya Bahasa
Gaya Bahasa adalah cara khas
dalam menyampaikan pikiran dan perasaan. Oka Rusmini dalam cerpen ini
lebih dominan menggunakan gaya bahasa yang puitik dan simbolik. Secara
sederhana, gaya bahasa puitik adalah gaya bahasa yang mengandung liris yang
tinggi sebagaimana terdapat dalam puisi atau sajak. Sedangkan gaya bahasa
simbolis adalah gaya bahasa yang banyak menggunakan perlambang tertentu untuk
mengatakan suatu maksud tertentu yang lain.
Gaya bahasa puitik misalnya
pada kalimat :
“Teruslah menari, Hyang Jagat. Hujan pun takut dengan
gemulai tubuhmu”
“Aku harus
bisa menari. Sekalipun dengan satu kaki . Hyang
Taksu aliri dagingku yang lumpuh ini. Cairkan keangkuhanmu. Beri kekuatan
itu padaku. Aku akan menari di depanmu-Mu,Hyang
Taksu. Hidupkan satu potong kakiku saat menari.”
Sedangkan dalam hal bahasa simbolik, Oka
Rusmini menggunakan Centaga sebagai simbol ketertindasan perempuan Bali yang
sering diperlakukan secara diskriminatif oleh adat atau masyarakat tradisi. Oka
Rusmini kemudian menggunakan Centaga sebagai lambang kejengahan perempuan Bali
untuk bangkit dan melawan, namun dengan cara yang tragis.
4.1.7 Amanat
Cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini sangat mengutamakan nilai-nilai
optimisme atau kejengahan yang ditonjolkan perempuan Bali untuk melawan tindak
diskriminatif oleh adat atau masyarakat tradisi dengan cara yang tragis.
4.2 Analisis Struktural dan Pragmatik Unsur Ekstrinsik Cerpen
Sepotong Kaki Karya Oka Rusmini
Nama-nama tokoh dalam cerpen Sepotong Kaki memudahkan peneliti untuk
mengidentifikasi bahwa Sepotong Kaki berlatarkan
budaya Bali. Nama-nama tokoh dalam ceritanya antara lain sebagai berikut:
1. I
Gusti Ngurah Putu Sanggra.
2. Si
Wayan.
3. Ida
Putu Centaga Nareswari.
4. Ni
Luh Rubag atau Jero Pudak
5. Tuniang
(nenek)
6. Aji
(ayah)
7. Tukakiang
8. Tugeg (panggilan untuk anak
perempuan Brahmana oleh orang yang lebih rendah kastanya)
9. Balian
(dukun Bali)
10. Ida Bagus Oka Tugur
11. Ida Ayu Manik
12. Dayu Ratih
13. Luh Karni
Selain itu, nama-nama dewa,
hari-hari suci Hindu, serta tempat suci
atau lokasi lainnya di Bali yang ditampilkan Oka Rusmini dalam karyanya juga
menguatkan tafsir peneliti bahwa cerita sepenuhnya berlatarkan budaya Bali.
Adapun penjabaran mengenai hal tersebut sebagai berikut.
Nama-nama dewa atau sebutan
untuk Tuhan dalam Hindu yang disebutkan
dalam cerpen Sepotong Kaki
sebagai berikut dan terdapat pada kalimat di bawah ini:
1. Sang Hyang Jagat
”Oh,
Sang Hyang Jagat lihat?!.........”
2. Dewi Laksmi, kesaktian (istri) Dewa
Wisnu
“Namaku Ida Putu Cendaga
Nareswari. Ketika umurku sebelas tahun, orang-orang bercerita bahwa aku titisan
Dewi Laksmi, istri Dewa Wisnu.”
3. Hyang Taksu, adalah dewa yang dianggap memiliki kekuatan tertentu.
Setiap pura keluarga biasanya memiliki Dewa Taksu.
“Aku harus
bisa menari. Sekalipun dengan satu kaki, Hyang
Taksu lirin dagingku yang lumpuh ini………..”
Perayaan hari-hari suci
tertentu bagi Hindu yang
diselipkan pengarang dalam karyanya seperti berikut .
1. Melaspas Kulkul
“Minggu depan
ada upacara Melaspas Kulkul.”
2. Kepus puser
“Jangan
pakai nama Ayu di depan nama cucuku,” katanya pelan di depan orang-orang yang
hadir, ketika upacara kepus puser
3. Purnama
dan Tilem
“Setiap
purnama, bulan terang, dan tilem, bulan mati haturkan sesajen di Pemerajan.”
Tempat Suci Hindu dan lokasi
lain sebagai simbol orang Hindu di Bali seperti :
1. Altar pemerajan, pura keluarga.
“Kemudian mulai menari di
altar pemerajan.”
2. Pura
“Ini upacara suci. Kalau kau
ikut menari, upacara besar di Pura akan tercemar.”
3. Balai banjar (bagian desa yang mempunyai
otonomi terbatas)
”Hanya laki-laki yang mau
memperistri Rubag,” kata perempuan-perempuan yang sibuk bekerja di balai banjar.”
4. Griya ( tempat tinggal kaum brahmana)
“Semua anak
perempuan di griya memakai gelar Ida
Ayu di depan namanya.”
5. Kuta
dan Ubud, daerah di sekitar Denpasar
“ Ia pemilik
hotel-hotel besar di sekitar Kuta dan Ubud.
Seni budaya
Bali juga tak luput ditampilkan Oka Rusmini dalam memperkental khasanah budaya
Bali dimana diantaranya seperti :
1. Tari legong
“LIHAT!
Alangkah indahnya kaki penari legong
itu….”
2. Tari rejang
“Ketika
usianya dua belas tahun, Centaga ingin menari rejang.”
Pengarang
dalam ceritanya juga telah banyak menampilkan
pengunaan dan perubahan tata nama
seseorang, dari kasta sudra ke (tingkat) dalam kasta brahmana. Hal tersebut
dapat ditunjukkan pada kutipan kalimat langsung dalam cerpennya berikut ini.
Centaga : (1) Karena masuk dalam lingkungan
keluarga Brahmana, bangsawan, nama ibuku (semula Ni Luh Rubag) menjadi Jero
Pudak. Tak seorang pun dari kasta yang lebih rendah boleh memakai nama
kecilnya lagi. Mereka dipanggil “Jero”, dan orang-orang dari kasta yang lebih
rendah harus bertutur kata halus padanya. oeang-orang sering bercerita, ibuku
perempuan yang mampu menidurkan seratus laki-laki dalam satu hari. Makanya nama
ibuku Jero Pudak. Pudak adalah sejenis bunga pandan yang tumbuh liar, tetapi
memiliki keharuman yang luar biasa dan abadi.
(2) Perempuan yang aneh itu
kupanggil ”meme”. Aku tak boleh memanggilnya “ibu”. Karena perempuan
yang melahirkan itu bukan seorang perempuan Brahmana, perempuan bangsawan.
Hanya perempuan-perempuan bangsawan yang bisa dipanggil “ibu” oleh anak-anak
yang dilahirkannya.
Tuniang : “Jangan pakai nama Ayu di depan nama cucuku,” katanya
pelan di depan orang-orang yang hadir, ketika upacara kepus puser, “beri dia
nama Ida Putu Centaga Nareswari.
Karena ibunya bukan seorang Ida Ayu.”
Pengarang, Oka Rusmini, dalam
penyampaian ceritanya sangat sarat dengan kebahasaan yang puitis atau
dengan gaya bahasa puitik. Hal ini
tampak pada awal cerita, dimana ia mencoba memposisikan diri sebagai lelaki
sombong dan penuh nafsu dengan
penyampaian bahasa puitik sekaligus simbolik .
Sanggra : “LIHAT!
Alangkah indahnya kaki penari legong
itu. Bagaimana mungkin seorang perempuan dianugerahi sepotong daging yang
menggiurkan? Lapar. Aku Lapar! Daging yang sangat luar biasa. Aromanya, Wayan,
membuatku gila. Apa kau mencium bau kaki perempuan itu? Bukan main. Baru kali
ini aku merasa lapar. Rasa lapar yang hanya dimiliki oleh seorang laki-laki
sejati. Lapar yang nikmat, Wayan. Rasa lapar yang mampu merontokkan seluruh
persendianku.Perempuan memang memiliki seluruh keindahan di bumi… ”(Laki-laki
itu menangkap air liurnya. Menarik nafas. Tubuhnya menggigil. Dingin!
Diteguknya sebotol arak dengan kasar)
Sanggra : “Oh,
Sang Hyang Jagat lihat?! Bagaimana mungkin ada potongan daging yang bisa
membuatku sesak nafas. Wayan, Wayan… pegang kurungan ayam ini. Pegang
erat-erat. Cicing , sundel, naskleng!
Apa yang terjadi dengandengan diriku, Wayan?” (Laki-laki itu memberikan ayam
aduannya pada laki-laki setengah bongkok yang mengikuti ke mana saja dia pergi.
Lalu dia menarik nafas)
Sanggra : “Aku ini bebotoh. Mataku biasa menelan setiap perempuan yang kutemui. Apa
yang terjadi dengan diriku, Wayan?” (Laki-laki it uterus memaki dirinya.
Matanya setengah mengantuk. Membuat orang-orang di sekitar arena pementasan itu
menatapnya dingin. Bau arak meluap dari bibir tebalnya)
Para
lelaki: “Luar biasa. Lihat!
ketika kainnya terangkat, seluruh dewa menarik nafas.” (teriak laki-laki yang
lain)
Dari percakapan di atas,
tampak bahwa pengarang bermaksud mengungkapkan suasana hati (perasaan) para
lelaki ketika ia melihat seorang gadis cantik dengan pesona tubuh yang kian
menggiurkan setiap mata yang memandangnya
dan dengan pengungkapannya ke dalam bahasa yang terkesan berlebihan atau
hiperbul.
Penggambaran sekilas tentang
sifat laki–laki yang suka merayu gadis yang diidamkan juga tidak luput
ditampilkan pengarang dalam ceritanya. Namun, pengarang menampilkan versi yang
berbeda dengan anak muda jaman kini, yaitu merayu gadis dengan menceritakan
dongeng terindah tentang sejarah cinta. Sejarah cinta Ken Arok dan Ken Dedes.
Mengenai hal ini terdapat pada kalimat sebagai berikut.
Sanggra : “Aku ingin
menikahimu, Centaga. Katakan apa yang kau inginkan dariku”(suara IGusti Ngurah
Putu Sanggra terngiang jelas di telinga Centaga)
Sanggra : Tahukah kau,
Centaga, aku memiliki dongeng terindah tentang sejarah cinta. Kau tahu Kerajaan
Singasari?”
Sanggra : “Dulu Singasari
terletak di sebelah Timur Gunung Kawi, di hulu sungai Berantas di Jawa
Timur. Pada abad 13 Singasari Cuma
sebuah desa kecil yang tak berarti. Lalu muncul Ken Arok dari desa Pangkur. Dia
mampu meruntuhkan Kediri. Merebut kekuasaan Raja Kertajaya. Dia mendirikan
pusat kerajaan di Kutaraja tahun 1254,yang kemudian jadi Singasari. Kau tau,
Centaga? Kenapa Ken Arok pemuda kampong itu bisa menguasai sejarah? Karena
laki-laki itu melihat kaki Ken Dedes. Kaki itulah yang mengubah seluruh
hidupnya. Kalau kau lahir pada abad itu, Ken Arok tentu tidak akan memilih Ken
Dedes. Kaulah yang akan dipinangnya. Karena dalam tubuhmu mengalir
cerita-cerita kebesaran, sejarah, kekuasaan, dan keabadian.”(I Gusti Ngurah
Sanggra terus melilitkan matanya dalam-dalam pada tubuh Centaga)
Pada konteks
ini, pengarang rupanya berusaha menarik perhatian kaula muda (bagi yang sudah
membaca cerita ini) untuk mengekspresikan diri dengan perilaku yang mencakup
usaha-usaha menarik perhatian seorang yang dicintai dengan cara yang berbeda
dengan yang biasanya direalisasikan anak muda saat ini dalam dunia percintaan.
Jadi, dalam uraian tersebut di atas, pengarang mencoba menampilkan story yang merupakan bagian dari ilmu sejarah sebagai perbandingan,
yaitu antara Centaga yang dicintai Sanggra dan Ken Dedes yang dipinang Ken Arok. Versi rayuan Sanggra dapat
dijadikan alternatif kaula muda untuk meninggalkan versi klasik yang saat ini
masih berlaku mutlak dalam dunia percintaan.
Di samping
dunia percintaan yang telah dikupas di atas, peneliti menemukan sesuatu yang
lain yang tersirat dalam cerita Sepotong
Kaki yaitu pada sebuah kompetisi yang lahir dari “dunia yang berbeda”,
yakni kompetisi antara dua gadis yang sam-sama berbakat dalam dunia tari namun
memiliki perbedaan fisik, gadis yang
satu memiliki fisik(kaki) sempurna,sedangkan gadis lainnya dengan fisik yang
tidak sempurna(kaki pincang).
Perbedaan itulah yang memicu lahirnya berbagai
perseteruan, kecemburuan sosial, serta tindak diskrimiasi oleh adat atau
masyarakat tradisi tehadap penari dengan cacat fisik. Mengenai hal tersebut,
terdapat pada dialog sebagaimana di
bawah ini.
Dayu Ratih
: “Kau tak akan pernah bisa
menari, Centaga. Tidak!” (suara Dayu Ratih melekat di otak Centaga. Perempuan
muda itu tersenyum sinis. Kemudian mulai
menar di altar pemerajan, pura
keluarga)
Dayu Ratih : “Kau
tak akan bisa menari, karena kau tak memiliki kaki.”(perempuan dua belas tahun
itu kembali berbisik. Diputarnya kipas tarinya dengan lembut)
Dayu Ratih : “Kau
lihat kakiku? Indah, bukan? Makanya, Luh Karni memilihku jadi Sita dalam
pementasan sendratari. Orang-orang akan mengagumiku. Karena perempuan sejati
adalah perempuan yang memiliki sepasang kaki yang indah. Mana kakimu, Centaga?”
(Dayu Ratih tertawa keras di telinga Centaga)
Luh Karni : “Ayo Tugeg menarilah.
Cobalah”
Centaga
: “
Aku harus bisa menari. Sekalipun dengan satu kaki. Hyang Taksu aliri dagingku yang lumpuh ini. Cairkan
keangkuhanmu. Beri kekuatan ini padaku. Aku akan menari di deopan-Mu, Hyang
Taksu. Hidupkan satu potong kakiku saat menari.” (Matanya yang biulat terpejam)
Luh
Karni : “Kau bisa menari Tugeg.
Kau bisa!” (Luh Karni menggigit bibirnya. Guru tari gadis-gadis griya itu
menarik nafas. Dicakupkannya tangannya. Mata tuanya berair)
Luh Karni : Aku
telah menanam taksu dalam tubuhmu. Catat dan dengar baik-baik kata-kataku.
Setiap Purnama, bulan terang, dan
Tilem, bulan mati, haturkan sesajen di Pemerajan..” (Lalu Luh Karni menarik
tusuk kondenya, dan ditusukkan ke kaki kiri Centaga)
Perempuan
Giya : Teruslah menari, Centag. Terus...” Kau
bukan perempuan sejati. Ingat itu, Centaga. Seorang laki-laki pernah menolakmu
ketika dilihatnya kaki kirimu tak seindah kaki kananmu. Kau bukan seorang
perempuan sejati, Centaga. Seorang penari harus memilikia dua potong kaki yang
sempurna.”
Pemangku : Ini
upacara suci. Kalau kau ikut menari, upacara besar di Pura akan tercemar. Wabah
penyakit akan menyerang desa kita. Upacara nii harus sempurna. Harus memiliki
kaki yang lengkap. Jangan meruasak upacara ini, Centaga.”(Kata laki-laki itu
dengan wajah mengeras)
Centaga : “Inikah
potongan daging milik laki-laki itu? Di sinikah laki-laki akan bercermin
tentang kebesaran seperti Ken Arok yang berusaha mengungkapkan rahasia hidupnya
lewat kaki Ken Dedes? Aku tak ingin memakianya lagi!” (Centaga berkata penuh geram.
Dengan penuh perasaan, dipotongnya kaki kirinya. Darah menetes. Centaga
mengusap sdeluruh tubuhnya yang telanjang dengan darahnya. Matanya terpekjam.
memanggil para dewa)
Centaga : “Aku
telah kenakan busana tari dari darahku, lengkap dngan bunganya.”(Gumam Centaga,
dan meletakkan potongan kakinya di atas dulang kayu. Lalu potongan kaki itu
ditaburinya dengan bunga-bunga, diusapi dupa wangi. Sebuah upacara upacara suci
dimulai. Centaga mengelilingi potongan kakinya)
Dari dialog di atas tampak
bahwa pengarang ingin menguak sebuah konflik yang diawali dengan berbagai macam
perilaku penghinaan terhadap kaki Centaga. Sementara di sisi lain, Centaga
mendapat support dari orang lain
untuk tetap menari. Namun, Centaga rupanya memilih jalan tragis untuk mengakhiri
dua unsur yang saling berlawanan tersebut, yang sangat mempengaruhi atau
menyiksa bathin Centaga.
Cerita ini merupakan gambaran
yang dituangkan pengarang dari pengalamannya sendiri. Dimana Oka Rusmini adalah
perempuan Bali berkasta Brahmana yang mengalami cacat fisik(kaki pincang) yang
dahulunya ia sangat merasakan adanya tindak diskrimasi terhadap dirinya
sendiri.
Demikian
yang dapat penulis sekaligus peneliti jabarkan mengenai unsur intrinsik dan
ekstrinsik yang membangun karya sastra—cerpen Sepotong Kaki karya Oka Rusmini.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari uraian
tersebut di atas, selama perjalanan peneliti dalam menganalisis struktural dan
pragmatik unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen Sepotong Kaki ini, maka ada beberapa hal yang dapat peneliti
simpulkan, yakni meliputi :
1. Cerpen
Sepotong Kaki karya Oka Rusmini ini bertemakan diskriminasi masyarakat tradisi terhadap perempuan dengan cacat fisik (kaki pincang).
2. Cerpen ini memiliki pola alur maju dan pola
alur mundur.
3. Penokohan
tokoh-tokoh dalam cerpen Sepotong Kaki
ini ternyata mayoritas mewarisi sifat diskriminatif terhadap tokoh utamanya
dengan cacat fisik. Maka tokoh-tokoh dalam cerpen ini jelas saling berkorelasi.
4. Setting
tempat yang ditampilkan yakni di sekitar Denpasar, sedangkan setting suasananya
berada pada situasi yang gaduh atau hiruk pikuk serta menegangkan.
5.
Sudut pandang yang digunakan pengarang yaitu sudut pandang aku (pelaku utama)
dan dia (pengarang sebagai pengamat).
6. Gaya
bahasa yang dituangkan pengarang dalam karyanya berkarakter bahasa puitik dan
simbolik.
7. Amanat
yang tersirat dalam cerpen ini yakni
menonjolkan nilai-nilai optimisme atau kejengahan perempuan Bali dengan
cara tragis dalam melawan diskriminatif
oleh adat atua masyarakat
tradisi.
8 Dilihat
dari eksistensi pengarang Oka Rusmini dalam dunia sastra, sebagai generasi muda
pada umumnya dan perempuan Bali khususnya, ada baiknya kita belajar menempuh
jejaknya lewat cipta karya sastra yang telah banyak menggugah nilai-nilai hidup
keperempuanan (perempuan Bali) lewat bahasa perempuan yang dipublikasikan Oka
Rusmini dengan mengedepankan budaya Bali yang
sarat akan adat istiadat, upacara agama Hindu, dan Catur Wangsa—salah satunya
Brahmana. yang merupakan latar belakang pengarang tersebut teridentifikasi melalui proses analisis struktural dan
pragmatik unsur ekstrinsik cerpen .
9. Pesan-pesan
yang mencakup nilai moral dalam cerpen Sepotong
Kaki patut dijadikan sebuah pembelajaran atau referensi hidup bagi kita
semua khususnya bagi kaum hawa.
5.2 Saran- Saran
Dari
kesimpulan di atas, adapun saran-saran yang barang kali dirasa penting disampaikan oleh peneliti adalah sebagai
berikut.
1.
Di
dalam kegiatan menganalisis suatu karya sastra berupa cerpen, ada baiknya
peneliti menggunakan metode-metode setepat mungkin agar tujuan yang diharapkan
tepat pada sasarannya.
2.
Agar
hasil yang benar, tepat, dan sempurna seperti yang diharapkan dalam tujuan,
penelitian ini perlu didukung oleh pemahaman tentang teori kesusastraan
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badrun, Ahmad.
1982. Pengantar Ilmu Sastra, Surabaya
: Usaha Nasional.
Eneste, Pamusuk
(Editor). 1984. Proses Kreatif,
Jakarta. Gramedia.
Fitriyah. 1988. Kemampuan
Mengapresiasi Unsur IntrinsikNovel Belenggu Karya Armin Pane Siswa Kelas II SMA
Negeri 2 Praya, FKIP- Universitas Mataram.
Gamayasa, I Nyoman. 1988. Kemampuan
Mengapresiasi Unsur Instrinsik Novel Sang Guru Karya Gerson Poyk Siswa Kelas II
SMA Negeri 2 Mataram, FKIP- Universitas Mataram.
Hartoko, Dick. 1986. Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta :
Gramedia.
Hasan, Puad. 1985. Berkenalan
Dengan Eksistensialisme, Jakartaa : Pustaka Jaya.
Rusmini, Oka. 2001. Sagra, Magelang :
INDOSIATERA
Semi, Atar. 1986. Kritik Sastra, Bandung : Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Jakarta :
Gramedia.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra, Jakarta :
Gramedia.

Tirta Wirya, Putu Arya. 1982. Antologi Esai dan Kritik Sastra, Ende : Nusa Indah.
Lampiran 2
BIOGRAFI PENGARANG
5.1 Biografi Pengarang dan Karyanya
Oka Rusmini
lahir di Jakarta, 11 Juli 1967, dengan nama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini. Saat
ini ia tinggal di Denpasar, Bali. Oka Rusmini adalah perempuan yang berkasta
Brahmana. Suaminya bernama Pasha Renaisan.
Oka Rusmini
adalah penulis perempuan muda yang produktif di bidang karya sastra. Selain
menulis puisi, dia juga seorang novelis dan cerpenis. Tulisan-tulisannya selain
menonjolkan usur etnik Bali yang kentaljuga terasa sekali mengungkapkan
pengalaman perempuan secara lebih utuh dan kritis. Oka Rusmini mampu
mengungkapkan keunikan budaya Bali sekaligus juga dengan bahasa yang indah dan
tajam menyadarkan pembaca tentang “ketimpangan’ dalam harmoni budaya Bali.(Indonesia Tera (pengantar penerbit),
2001:6)
Antologi
yang memuat karyanya, antara lain, Doa
Bali Tercinta (1993), Rindu Anak-anak
mendulang kasih (1987), Bali Behind
The Seen (Australia, 1996), Utan Kayu:
Tafsir dalam Permainan (1998), Menagerie 4(2000), Bali: The Monitoring After (Australia, 2000), Bali Living in Two Worlds (Basel,2000).
Karya-karyanya
banyak memperoleh penghargaan. Cerita pendeknya, ‘Putu Menolong Tuhan”, terplih
sebagai cerpen terbaik Majalah Femina 1994. Noveletny, “Sagra”, memenangi
cerita bersambung terbaik Majalah Femina 1998. Cerita pendeknya, “Pemahat
Abad”, terpilih sebagai cerpen terbaik 1990-2000. Majalah Sastra Horison. Pada
tahun 2002 menerima penghargaan puisi terbaik Jurnal Puisi. Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional Indonesiamemilihnya sebagai “Penerima
Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” atas novelnya, Tarian bumi.
Ia juga
sering diundang dalam berbagai forum sastra nasional dan Internasional. Di
antaranya mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta
(1996); mewakili Indonesia dalam writing
program penulisan ASEAN (1997); tampil dalam Festival Puisi International
di Surakarta (2002), Festival Puisi Internasional di Denpasar, Bali (2003)
serta festival Sastra Winternachten
di Deen Haag dan Amsterdam, belanda, sekaligus hadir sebagai penulis tamu di
Universitas Hamburg, Jerman (2003).
Buku puisi,
novel dan kumpilan cerita pendeknya yang telah terbit : Monolog Pohon (1997),
Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003) dan Patiwangi (2003).
(2001:319)
AUTO BIOGRAFI PENULIS
Saya Ni PutuYuli Astari, lahir di Br. Menega, Jembrana, Bali, 20 Juli
1991. Saat ini, saya sedang mengenyam pendidikan di bangku kelas XI. I.S.2 SMAN
1 Negara.
Sebelumnya saya lulusan dari
SMPN 1 Negara. Saya sempat terjun dalam dunia teater dan bergabung di salah
satu Sanggar Teater Merpati Putih SMPN 1 Negara—namun mandeg sampai saat ini
karena suatu alasan.
Prestasi yang berhasil saya
abadikan ketika SMP khususnya dalam dunia sastra dan teater seperti ; Juara dua lomba Fragmentasi Puisi
se-Provinsi Bali (bergroup) yang
diselenggarakan oleh Teater Angin SMAN 1 Denpasar. Ketika itu saya sebagai
aktor, dengan Puisi “Cacatan 1946” karya Khairil Anwar. Di samping itu, saya
juga berhasil meraih juara pertama lomba membaca puisi bertemakan Pahlawan, dalam rangka memperingati hari
Puputan Margarana yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial Jembrana, 2006. Juara pertama kali kedua, ketika saya kelas X di SMAN 1
Negara. Selain membaca puisi, saya juga berhasil menyabet juara dua dalam
berpidato Bahasa Bali yang bertemakan Catur
Guru setingkat Kabupaten Jembrana
Dan juara pertama lomba PMR
Madya (ketika SMP) dan PMR WIRA (kelas X di SMA) PMI Cabang Jembrana 2006.
Setahun yang lalu saya ikut
serta memeriahkan Pesta Kesenian Bali di Kota Denpasar dalam ajang lomba baca
puisi Bali Modern bertemakan ibu,
namun belum membuahkan hasil. Kendatipun kesuksesan itu belum berpihak pada
saya, namun pada akhirnya prestasi lainnya pun menopang kejengahan saya
kembali, seperti lomba baca puisi Indonesia Modern bertema lingkungan yang diselenggarakan dalam rangka peringatan HUT ke-50
dan BK ke-27 Fakultas Sastra Universitas Udayana serta lomba baca puisi Bali
dalam event KNPI 2008 Jembrana, Bali. Sebelumnya juga sempat
menjadi Panitia Pekan Apresiasi Sastra dan Teater yang diselenggarakan oleh
Komunitas Kertas Budaya 18-20 Oktober 2007.
Adanya prestasi yang tidak
banyak itu sementara sudah menguatkan bathin saya untuk terus melanjutkan
pengembaraan hidup. Namun, saya selalu merasa betapa pekat kelemahan yang ada
dalam diri ini. Untuk itu, saya senantiasa melukiskan hidup ini apa adanya
lewat beberapa tulisan saya yang berwujud puisi. Dan saya tengah belajar
mengenali wajah-wajah sastra lainnya berikut apresiasinya lewat pendidikan di
sekolah yakni SMAN 1 Negara.